RadarJawa — Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat terus menjadi perhatian serius pemerintah. Kantor Wilayah Kementerian Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah menggelar Rapat Koordinasi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, bertempat di Aula Kanwil KemenHAM Sulteng, Rabu (9/10).
Kegiatan strategis ini menghadirkan Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, bersama tim Kementerian HAM RI. Hadir pula perwakilan dari Kanwil Kemenkum Sulteng, Ditjen Pemasyarakatan, Ditjen Imigrasi, serta unsur Sekretariat Daerah Provinsi dan Kota Palu, Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Badan Kesbangpol, Fakultas Hukum Universitas Tadulako, hingga Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah.
Dalam paparannya, Dirjen Munafrizal menekankan pentingnya memperkuat sinergi pusat dan daerah untuk memastikan proses penyelesaian non yudisial berjalan efektif dan berpihak pada korban.
“Penyelesaian pelanggaran HAM berat bukan sekadar proses administratif. Ini adalah upaya rekonsiliasi bangsa — bagaimana kita belajar dari masa lalu dan membangun kepercayaan publik terhadap negara,” ujarnya.
Ia juga menyoroti sejumlah kasus yang menjadi pelajaran penting, seperti Wasior, Wamena, dan Abepura, yang menegaskan kompleksitas verifikasi dan pembuktian dalam konteks HAM berat.
Sementara itu, Kepala Kanwil KemenHAM Sulawesi Tengah, Mangatas Nadeak, menegaskan kesiapan pihaknya menjadi garda terdepan dalam memperkuat koordinasi dan mengawal implementasi rekomendasi Komnas HAM di daerah.
“Penyelesaian pelanggaran HAM berat bukan hanya soal menuntaskan masa lalu, tapi memastikan masa depan tanpa luka yang sama. Kami di KemenHAM Sulteng berkomitmen memperkuat kolaborasi lintas sektor agar proses ini berorientasi pada pemulihan dan keadilan bagi korban,” tutur Mangatas.
Rapat koordinasi ini menjadi bagian dari langkah nyata KemenHAM untuk menghidupkan kembali dialog HAM di tingkat daerah. Selain memperkuat jaringan kerja antarinstansi, kegiatan ini juga diharapkan membuka ruang partisipasi masyarakat sipil dalam proses penyelesaian yang berkeadilan, berperspektif korban, dan berorientasi pada rekonsiliasi nasional.

