TpWiTpr5BSO0BSC7GpOpGpdiGd==

Fakta - fakta Film Dirty Vote yang Viral

Radarjawa - Film dokumenter "Dirty Vote" dari WatchDoc mencuri perhatian publik menjelang Pemilihan Umum 2024 pada pekan ini. Dalam produksi ini, WatchDoc memberikan analisis mendalam terkait dugaan kecurangan dalam Pemilu dengan pendekatan yang sistematis. Film ini tidak hanya sekadar memperlihatkan fakta, tetapi juga menggali akar penyebab serta dampak dari potensi pelanggaran dalam proses demokrasi. Menyajikan pandangan yang kritis, "Dirty Vote" menjadi sorotan karena mengajak penonton untuk merenung dan mempertanyakan integritas dalam penyelenggaraan pemilihan umum. 

Profil Sutradara Dirty Vote 

Film dokumenter "Dirty Vote" diberdayakan oleh sutradara berbakat, Dandhy Dwi Laksono, yang menghadirkan pandangannya terhadap proses pemilihan umum. Dalam siaran tertulisnya, Dandhy menegaskan bahwa film ini adalah bentuk edukasi yang ditujukan untuk masyarakat yang akan menggunakan hak pilihnya pada 14 Februari 2024 dalam Pemilihan Umum 2024. 

Lebih dari sekadar penyajian visual, Dandhy merangkai narasi yang melibatkan penonton dalam refleksi sebagai warga negara. Dia mengajak masyarakat untuk tidak hanya menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi juga untuk mengenali dan memahami dinamika serta tantangan dalam sistem demokrasi. "Dirty Vote" menjadi wadah bagi penonton untuk mempertajam wawasan politik mereka dan memotivasi keterlibatan aktif dalam menjaga integritas proses demokrasi di tanah air. Dandhy Dwi Laksono menciptakan karya yang tidak hanya menginformasikan tetapi juga menginspirasi pemirsa untuk menggali lebih dalam aspek-aspek penting dalam dinamika politik Indonesia. 

Hasil Kerja 20 Lembaga 

Menurut Dandhy Dwi Laksono, film dokumenter Dirty Vote merupakan hasil kolaborasi intensif yang dilakukan dalam waktu sekitar 2 minggu. Proses ini melibatkan 20 lembaga terkemuka, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. 

Pembuatan film ini melibatkan serangkaian tahapan, mulai dari riset yang mendalam, produksi, penyuntingan, hingga rilis kepada publik. Dandhy Dwi Laksono menekankan bahwa partisipasi 20 lembaga tersebut memberikan dimensi keberagaman dan keahlian dalam membongkar dugaan kecurangan dalam Pemilu. Kolaborasi ini menciptakan narasi yang komprehensif dan mendalam, mampu menggambarkan kompleksitas tantangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. 

Hasil kolaboratif ini membuahkan hasil positif di platform online, dengan film yang berhasil mencapai lebih dari 355.831 penonton dalam waktu kurang lebih 5 jam setelah diunggah di YouTube. Dukungan dari 51.294 pengguna YouTube yang memberikan like menunjukkan bahwa "Dirty Vote" berhasil menarik perhatian dan mendapat apresiasi dari masyarakat online. Keberhasilan ini menegaskan bahwa ketertarikan publik terhadap isu-isu demokrasi dan keadilan tetap tinggi. 

Profil 3 Pakar Hukum Film Dirty Vote 

Dalam film Dirty Vote, ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, memberikan penjelasan mendalam mengenai fenomena politik dalam konteks penggunaan anggaran Bansos menjelang Pemilu 2024. Bivitri mengenalkan konsep "politik gentong babi" yang berakar pada masa perbudakan di Amerika Serikat. 

Dalam sejarahnya, politik gentong babi muncul ketika budak harus bersaing untuk mendapatkan daging babi yang diawetkan dalam gentong. Mereka bersaing untuk mendapatkan bagian dari babi tersebut, menciptakan dinamika persaingan untuk kepentingan pribadi. 

Diterapkan dalam konteks politik saat ini, Bivitri menjelaskan bahwa politik gentong babi adalah strategi berpolitik yang menggunakan uang negara. Uang tersebut disalurkan oleh politisi ke daerah-daerah pemilihan untuk memastikan dukungan dan memperoleh suara agar mereka bisa dipilih kembali. 

Dalam konteks Pemilu 2024, Bivitri menyoroti gelontoran anggaran Bansos yang dianggap berlebihan. Dalam film Dirty Vote, ia mencermati bahwa pemerintah telah menghabiskan Rp 78,06 triliun hanya untuk bulan Januari, dengan jenis bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan beras, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), dan bantuan langsung tunai (BLT) El Nino. Bivitri menekankan bahwa hal ini merupakan bagian dari strategi politik yang dapat mempengaruhi dinamika Pemilu dan menantang integritas demokrasi.

Komentar0

Type above and press Enter to search.