RadarJawa - Di balik panggung sederhana SMP Negeri 1 Palu, sekelompok siswa tengah mempersiapkan gerak tarian mereka. Tak ada yang menyangka, karya yang lahir dari ruang kelas ini akan menembus daftar resmi Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Lima tari — Reboisasi, Vunja, Sompula To Kaili, Mompajoka Torata, dan Lebaran Mandura — kini sah tercatat di bawah perlindungan hukum negara. Tapi di balik seremoni penyerahan sertifikat oleh Kanwil Kemenkum Sulteng, tersimpan pelajaran penting: bahwa pendidikan hukum bisa dimulai dari seni.
Kepala Kanwil Kemenkum Sulteng, Rakhmat Renaldy, menegaskan bahwa pendaftaran karya seni bukan sekadar formalitas administratif.
“Ini adalah bagian dari pendidikan karakter hukum. Siswa belajar bahwa kreativitas memiliki nilai hukum yang harus dihargai dan dilindungi,” ujarnya.
Setiap tari yang diciptakan memiliki kisah. Reboisasi menggambarkan semangat menjaga alam, Vunja menampilkan keceriaan masyarakat pesisir, sementara Sompula To Kaili mengangkat identitas etnik Kaili. Semua karya itu dirancang melalui riset kecil, latihan disiplin, dan pembelajaran lintas bidang.
Menurut Kepala Sekolah Yusri, proses tersebut menjadi bagian dari kurikulum karakter. “Kami ingin anak-anak tahu bahwa mencintai budaya berarti juga melindunginya. Mereka belajar seni, hukum, dan tanggung jawab sosial secara bersamaan,” katanya.
Langkah SMPN 1 Palu ini menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain di Sulawesi Tengah. Di era digital yang penuh tantangan, sekolah ini membuktikan bahwa kesadaran hukum dapat ditanamkan sejak dini — bahkan lewat gerak tari di panggung sederhana.

